Home » » Ojung "Seni Memukul Rotan" Yang Hampir Punah

Ojung "Seni Memukul Rotan" Yang Hampir Punah

Written By KabarInvestigasi on Jumat, 23 November 2012 | 15.29

POSTTIME, SUMENEP - Budaya Ojung atau olahraga mengadu kekebalan tubuh serta kelihaian dalam memukul menggunakan rotan terhadap lawan di Kabupaten Sumenep, Madura nyaris punah.

Untuk melestarikannya kembali, tradisi Ojung digelar di Desa Juruan Laok, Kecamatan Batuputih, Sumenep atau berjarak 24 km dari kota. Bahkan, di desa lainnya, seperti Desa Batuputih Laok, kecamatan Batuputih dan di wilayah Kecamatan Ambunten juga digelar.

Konon, tradisi Ojung tempo dulu sering digelar saat selamatan desa, tolak balak atau sedang mendapat kegembiraan bersama disuatu wilayah. Sehingga mereka berkumpul dan mengadu kekuatan tubuh.

Tak semua orang bisa ikut serta menjadi pemain dalam tradisi Ojung ini, selain harus berani dan bertubuh kebal, juga kekuatan memukul dengan rotan serta seni menghindari dari pukulan lawan menjadi tolak ukur peserta Ojung.

Jika tidak, maka pukulan rotan yang disediakan khusus oleh panitia bakal melukai kulit pemain.

Memang seringkali terjadi bagi pemain pemula, pukulan rotan berukuran besar yang menyasar di lengan dan tubuh belakang dan samping melukai kulit dengan darah segar mengalir.

Tetapi, bagi mereka yang sudah biasa bermain Ojung, bekas pukulan rotan tak terlihat. Ini biasanya dinilai yang paling jago dan mendapat tepuk tangan meriah oleh penonton.

Sebenarnya tidak ada penilaian pemenang atau pun siapa yang kalah dari panitia. Namun, bila lebih banyak menerima pukulan apalagi rotan yang dipegangnya lepas dari tangan dianggap kalah oleh penonton.

Adu kekuatan fisik dan kekebalan dalam tradisi Ojung ini berlangsung 5 sampai 7 menit. Bagi yang punya kemampuan lebih, bisa saja hingga dua kali tanding. Itu pun jika yang bersangkutan masih sanggup melanjutkan.

Selama permainan, ada dua orang yang mengatur jalannya Ojung tersebut. Dia disebut Peputo (Wasit). Perannya, selain menjaga permainan tetap profesional dan sportif, juga menjaga pihak penonton atau kerabatnya ikut memukul pemain bila dianggap kalah.

Sebab, para pemain Ojung ini juga mempertaruhkan nama baik dan ingin menunjukkan kemampuannya di depan khalayak. Tak ayal, jika mereka itu ada yang menggunakan azimat dan minyak kebal tubuh.

Untuk mencari lawan tidaklah sulit, di arena gelanggang 10x10 meter itu setiap penonton dipersilahkan untuk mencari lawan sebanding, terutama tinggi dan umur. Bila sepakat bertanding, maka yang bersangkutan dipersilahkan melepas baju.

Bagian kepala diberi penutup dan sebagian lengan kiri diberi kain sebagai alat menahan pukulan lawan. Rotan berukuran besar sepanjang 1 meter sebagai alat memukul.

Selama pertandingan, musik tradisional yang disebut Okol dan kidungan Madura menambah semarak tradisi Ojung tersebut. Musik yang jarang dijumpai di daerah lain ini terdiri dari 3 buah Dung-Dung (akar pohon siwalan) yang dilubangi ditengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik kleningan sebagai pengatur lagu.

Salah seorang panitia tradisi Ojung, Hosen (35), warga Desa Tengedan, Batuputih Sumenep, mengatakan, tradisi Ojung sengaja digelar karena sudah nyaris punah.

"Tradisi Ojung ini warisan leluhur nenek moyang disini," terang Hosen, pada wartawan di arena pertandingan, Desa Juruan Laok, Kecamatan Batuputih, Sumenep.

Tradisi Ojung, kata dia, sebanarnya sangat sakral bagi warga, terutama pada saat selamatan desa tempo dul. Sehingga hampir dari berbagai desa ada yang ikut serta bermain Ojung, terutama warga Desa Batuputih Daya, Juruan Daya, Juruan Laok, serta Desa Kolpo, Kecamatan Batang-Batang.
Share this article :

Posting Komentar

HUKRIM

More on this category »
 
HOME | REDAKSI | KARIR
Copyright © 2011. PANTURA PRESS - All Rights Reserved
Powered by MEDIA ONLINE